Sebenarnya gue paling tidak setuju kalau Kartini dianggap sebagai tokoh emansipasi wanita.
Soalnya tidak ada yg beliau perjuangkan. Yang beliau lakukan cuman mengirim surat ke pada temannya yg tinggal di Belanda, yg kemudian berbaik hati utk menerbitkan sura2x Kartini tersebut. Walaupun dalam surat – suratnya memang beliau mengemukakan pikirannya, pada masa itu pikiran – pikiran yg dikemukakan Kartini dalam surat – suratnya bukanlah pemikiran yg bisa diterima oleh bangsa Indonesia pada jamannya.
Tapi selain surat itu, adakah tindakan nyata Kartini untuk membela kaum perempuan? Malah beliau membiarkan dirinya dimadu oleh suaminya. Mungkin bila pada saat itu Kartini, melakukan suatu aksi menolak diduakan oleh suaminya, pemikiran gue akan menjadi lain. Atau bila pada saat itu , Kartini turun ke kampung – kampung untuk memberi pendidikan bagi kaumnya, mungkin kekaguman gue pada Kartini akan sama seperti kekaguman yang lain dengan Kartini. Tapi jangankan utk memberi pendidikan pada kaumnya, gue kira Kartini juga tidak memberikan pendidikan pada abdi dalemnya atau anak – anak perempuan dari abdi dalemnya.
Atau memang sebenarnya pemikiran gue itu yang enggak wajar? Tapi ya … karena jamannya lagi bebas untuk mengatakan pikiran dan pendapat kita, jadi enggak salah dong ya kalau gue menyatakan keberatan gue atas dipilihnya RA Kartini sebagai simbol emansipasi perempuan 🙂
Menurut gue justru yang semestinya menjadi tokoh emansipasi ya Cut Nya Dien, Martina Martatiahahu dan yang lain – lain yang ditengah – tengah keterbatasan mereka diantara dominasi laki – laki. Mereka bisa menjadi pemimpin yang disegani yang dengan gagah berani membela rakyatnya.
Emansipasi versi pikiran gue itu bukan diartikan bahwa perempuan tidak membutuhkan laki – laki. Tapi perempuan itu harus bisa bebas merdeka menjadi dirinya sendiri dan mempunyai hak yang sama dengan kaum laki – laki untuk bersekolah, bekerja, mengemukakan pendapatnya.
Perempuan tidak boleh terkukung dikarenakan ‘moral’ yang diciptakan manusia sekelilingnya menuntutnya untuk melakukan hal – hal yang membuat dirinya tidak merasa nyaman. Membuat dirinya merasa ruang geraknya terbatas. Dan kemudian membuat dirinya merasa rendah diri dan merasa tidak mampu.
Pemaksaan untuk pemakaian kebaya dan sanggul pada saat hari Kartini, sebenarnya juga menunjukkan bahwa emansipasi itu sebenarnya belum ada. Apakah kebaya dan sanggul itu merupakan simbol dari emansipasi? Atau apakah dengan menggunakan kebaya dan sanggul itu menunjukkan bahwa kesetaraan jender sudah diterapkan? Naif banget dan kemudian menjadi bias.
Gue bukan mengatakan bahwa gue tidak meghargai kebaya. Tidak sama sekali. Bahkan menurut gue, kebaya itu unik sekali, membuat perempuan tampil seksi tapi tetap tertutup dan anggun. Dan kalaulah sekarang gue tidak punya kebaya satu lembarpun dilemari gue, itu semata – mata karena memang harga kebaya yang bagus mahal banget, dan gue juga tidak tahu harus gue pake ke acara apakah kebaya itu 🙂