Catatan 17 Agustus 2021

Seperti tahun lalu, 17 Agustus kali ini tidak ada perayaan dan pertandingan – pertandingan yang dilakukan secara luar jaringan (luring). Perayaan – perayaan masih dilakukan melalui internet secara dalam jaringan (daring). Yang sama masih banyak bendera merah putih yang berkibar di rumah – rumah, di depan gedung -gedung. Yang masih sama juga, dari rumah saya, terdengar dentuman – dentuman petasan.

Di salah satu postingan foto tentang kemerdekaan, di salah satu medsos yang saya miliki, ada pernyataan kepada saya, bagaimana mau merdeka kalau saat ini masih di jajah oleh Covid?

Saya kemudian berpikir, apakah saya sedang dijajah oleh Covid? Apakah arti penjajahan itu sebenarnya? Kemudian apa artinya kemerdekaan ?

Saya sendiri tidak merasa saya sedang dijajah oleh Covid. Saya malah merasa, dengan adanya Covid ini, saya banyak berpikir ulang tentang kebebasan yang saya miliki. Berpikir ulang tentang kemerdekaan yang saya milliki.

Sebelum Covid, banyak sekali hal remeh temeh yang sebenarnya menjajah saya (saya tidak tau apakah menjajah orang lain atau tidak), seperti saya lebih mementingkan pekerjaan saya dibandingkan kesehatan saya. Saya lebih mementingkan pekerjaan saya dibandingkan keluarga saya atau bahkan waktu saya untuk diri saya sendiri. Setelah Covid? Saya mulai berpikir banyak tentang waktu saya yang saya habiskan untuk pekerjaan saya. Dimana kalau harus memilih, saya pasti akan memilih pekerjaan saya dibandingkan keluarga saya (mungkin ini sebabnya Allah, belum memberikan saya jodoh yaaaaaa hahahhahhaha, bisa bubar lagi deh rumah tangga saya hahahhahaaha). Padahal, ketika sakit, yang akan perduli dengan saya, ya keluarga saya. Ketika harus bekerja dari rumah berhari – hari, yang menjadi penghibur saya ya keponakan – keponakan saya. Sama seperti kesehatan, kalau saya sakit, pekerjaan saya tidak akan bisa menolong saya, malah akan semakin bertumpuk – tumpuk karena tidak bisa saya kerjakan ketika sakit. Sehingga kalau baru sembuh, trus melakukan pekerjaan yang bertumpuk – tumpuk, alhasil yang ada, kesehatan saya akan menurun lagi, akan sakit lagi.

Jadi sejak masa – masa Covid ini, kalau saya merasa tubuh saya kurang fit, atau saya kecapean, saya akan meminta waktu untuk tidak bekerja. Bahkan ketika saya sudah merasa saya stress banget dengan pekerjaan saya, saya akan terus terang berkata kepada atasan saya, untuk minta waktu istirahat. Di mana selama waktu tersebut, saya tidak akan membuka email, menjawab pesan – pesan di medsos yang saya miliki. Bahkan Sabtu/Minggu atau hari libur lain, saya benar – benar akan berhenti dari pekerjaan saya. Mengapa? Karena itulah kemerdekaan saya untuk waktu yang saya miliki.

Selain itu, saya adalah orang yang sangat takut untuk ‘ditolak’ oleh orang lain. Saking belum “merdeka”nya saya dengan perasaan takut ditolak, oleh orang lain, saya takut banget mengirimkan pesan kepada orang lain – walaupun pesan itu sebenarnya hanya pertanyaan mengenai kabar. Saya takut banget orang orang merasa terganggu dengan saya. Dan sebagai orang yang sensitif, saya juga merasa “terluka” kalau pesan yang saya kirimkan tidak dijawab (yup I am a silly person). Padahal mungkin orang tersebut lagi sibuk, atau lupa menjawab, atau memang, tidak ingin menjawab saja – mungkin malah karena tidak tau menjawab saja. Tapi, bagaimana saya tau reaksi orang tersebut apabila saya tidak mencoba mengirimkan pesan?

Dan yang paling parah yang saya alami pada saat pandemi Covid ini, adalah banyak banget teman – teman saya yang ingin saya tanyakan kabarnya, yang ingin saya ucapkan terima kasih, yang ingin saya ucapkan pujian atas apa yang dilakukan, yang kemudian meninggal dunia, sebelum saya sempat mengirimkan pesan yang saya inginkan kepada mereka. Penyesalan saya bertubi – tubi karena ini. Hanya karena terjajah oleh perasaan takut ditolak, takut tidak dijawab, takut mengganggu dan segala macam takut, saya tidak melakukan apapun yang ingin saya lakukan.

Setelah Covid? Saya akan mengirimkan pesan kepada siapapun yang saya pikirkan, yang ingin saya hubungin. Tentu saja, kadang kala, pesan saya tidak dijawab, atau kalaupun dijawab, mungkin berbulan – bulan kemudian. Apakah saya sedih ? Ya masih sering ada, tapi ini terhapus kalau saya mengingat kembali, apa yang terjadi sebelum – sebelumnya. Saya tidak mau terjajah kembali oleh pikiran – pikiran saya sendiri, asumsi – asumsi saya, yang belum tentu benar. Kalaupun benar, toh juga tidak mengapa, mungkin ada sesuatu yang saya lakukan menyakiti mereka, dan ini jadi masukan untuk saya untuk memperbaiki diri saya.

Sebelum Covid, saya juga merasa sering terpaksa melakukan sesuatu, agar dianggap baik oleh orang lain. Saya tidak merasa merdeka untuk menentukan apa yang ingin saya lakukan, saya membiarkan banyak orang untuk tidak menghargai saya terutama oleh orang – orang yang yang cukup dekat dengan lingkungan saya. Misalnya, ada orang yang sering sekali membatalkan janjinya di detik detik terakhir, dan saya dengan bodohnya, masih mengiyakan ketika dia seenaknya merubah jadwalnya – seolah olah saya tidak mempunyai urusan lain, hanya karena faktor kedekatan saya dan dia. Karena saya takut banget menyakiti dia, seandainya saya menolak mengubah jadwal. Saya malah mengusahakan saya bisa mengikuti jadwal yang diberikan (dan itu seringkali berarti saya harus mengubah jadwal saya yang lain).

Atau saya mengiyakan ketika orang lain membuat saya menjadi pilihan kedua, misalnya, hanya karena tidak ada yang mau mengerjakan, saya diberikan pekerjaan tersebut. Karena biasanya dilakukan oleh orang /organisasi yang sama, saya tau betul, kalau ada orang lain, pasti orang/organisasi itu akan memilih yang lain dari pada saya. Kemudian, walaupun saya sudah melakukan pekerjaan sebaik – baiknya, termasuk saya harus mengurangi jadwal tidur saya dan mengeluarkan ekstra energi bahkan ekstra dana pribadi untuk itu,dikemudian hari, untuk apapun yang saya lakukan kepada orang/organisasi tersebut, saya tidak akan pernah masuk ke dalam undangan, atau orang yang patut dihargai oleh orang/organisasi tersebut. Dan saya hanya diam. Bahkan tetap menerima kalau orang/organisasi,tersebut melakukan hal yang sama berulang – ulang kali kepada saya.

Saya akan merasa saya tidak enak banget untuk menolak. Saya ingin menjadi orang baik, saya ingin diterima oleh orang lain. Saya takut orang lain akan meninggalkan saya, kalau saya tidak menjadi orang baik. Tapi setelah Covid, di mana saya punya waktu banyak untuk merenung bagaimana saya mencintai diri saya, punya banyak waktu untuk belajar tentang diri saya, saya menyadari mengapa orang – orang sering sekali melakukan hal tersebut kepada saya, sepele dengan jadwal saya, perduli hanya ketika perlu dengan saya dan lain lain, dan itu karena ketidak merdekaan saya untuk mencintai diri saya sendiri.

Jadi saya sendiri lah yang sebenarnya membuat orang menyepelekan saya. Saya sendiri yang membuat orang lain meninggalkan saya. Bahwa cara saya membiarkan orang lain tidak menghargai saya adalah cara saya mengajarkan kepada orang lain, bagaimana mencintai diri saya. Oleh karenanya tidak salah juga ketika orang – orang begitu seenaknya kepada saya, menyepelekan saya. Karena itulah yang saya ajarkan kepada mereka. Itulah yang mereka baca dari saya, itulah yang mereka anggap saya inginkan. Untuk tidak diperdulikan, untuk disepelekan.

Setelah covid? Saya akan mengatakan tidak, kalau saya tidak bisa. Saya akan mengatakan tidak kalau saya hanya menjadi pilihan kedua, atau saya tau bahwa saya diminta bukan karena mereka menghargai saya tapi karena orang yang mereka inginkan menolak. Saya akan mengatakan tidak, kalau saya tidak mau melakukan sesuatu walaupun yang meminta itu adalah senior saya, teman dalam lingkaran terdekat saya. Saya tidak akan mengerjakan sesuatu yang tidak saya sukai dan tidak akan mengerjakan sesuatu untuk orang lain atau organisasi yang tidak menghargai saya. Saya tidak akan lagi membuang – buang waktu saya untuk sesuatu/seseorang yang tidak mencintai saya.

Saya belajar untuk mencintai diri saya sendiri dan mengajarkan orang lain bagaimana saya ingin dicintai. Bagaimana orang lain mencintai saya kalau saya sendiri tidak merdeka untuk mencintai diri sendiri?

Jadi kalau ditanya, apakah saya merasakan bahwa saya tidak merdeka karena Covid? Saya akan mengatakan tidak. Saya belajar banyak tentang arti “merdeka” justru karena Covid. Bagaimana dengan anda?

Salam kemerdekaan.

Posted in Uncategorized | Tagged , | Leave a comment

Sudut Pandang – Point of View (catatan menjelang 17 Agustus)

Di masa pandemi ini, yang juga sering saya amati adalah semakin banyak yang tidak bisa menerima perbedaan sudut pandang orang lain, terutama apabila sudut pandangnya berbeda. Sebenarnya ya wajar sajalah kalau antara orang yang satu berbeda sudut pandang antara pandangan yang satu dengan pandangan orang lain. Yang tidak wajar adalah ketika ada perselisihan dan kebencian karena sudut pandang yang berbeda.

Sebenarnya sih kalau sering fotografi, – swafoto (selfie) misalnya, mungkin akan tau bahwa setiap orang akan berbeda – beda cara mengambil foto baik foto dirinya sendiri ataupun foto orang lain. Perbedaan ini disebabkan karena cara sudut pandang kita melihat sesuatu. Nah, kemudian dari perbedaan itu, foto yang dihasilkan juga akan berbeda – beda penilaiannya. Menurut saya bagus, menurut orang lain ya belum tentu sama.

Ini mengingatkan saya tentang orang yang saya kenal, yang menurut sudut pandang mata saya, ganteng banget. Tetapi orang tersebut merasa dia jelek, dan menurut beliau hampir semua orang yang dia temui mengatakan dia jelek dan itu sudah berpuluh tahun begitu. Saya sendiri tidak bisa melihat sudut pandang mana yang membuat beliau terlihat jelek. Bahkan ketika di foto, menurut saya – beliau terlihat ganteng, tapi beliau sendiri keukeuh (red: keras kepala), bahwa dia jelek. Bahkan mengatakan, saya itu pingin terlihat baik dengan tidak mengatakan bahwa beliau jelek. Buat saya, bagaimana saya mengatakan sesuatu yg menurut saya ganteng – saya katakan jelek? Karena itu yang terlihat dari sudut mata saya.

Apakah saya tidak menerima pandangan beliau dan orang lain yang sependapat dengan beliau? Ya tentu tidak, walaupun sulit buat saya menerimanya, karena saya tidak melihat sisi jelek itu. Saya memutar – mutar sudut pandang saya, tetap saja terlihat ganteng. Ini mungkin juga sulit untuk orang lain menerima sudut pandang saya, karena mereka tidak bisa melihat dari sisi saya, mengapa saya mengatakan ganteng.

Tetapi apakah saya marah karena perbedaan itu? Tentu saja tidak. Yang membuat saya marah, ketika saya dipaksa untuk menerima sudut pandang orang lain. Ketika saya diharuskan mengubah pikiran saya tentang sudut pandang saya, karena itu tidak sesuai dengan apa yang saya pikirkan. Begitu pula menurut sebaliknya, pasti lah orang lain akan sebal apabila saya memaksakan pendapat saya tersebut.

Kemudian, apakah saya menerima perbedaan sudut pandang orang lain tersebut? Tentu saja saya terima, karena itu kan hak orang lain untuk berpendapat. Dan toh sebenarnya, tidak ada masalah ketika pandangan saya dan pandangan orang lain (bahkan pandangan si empunya wajah ganteng) berbeda. Hahahahhaaha. Kasarnya tidak akan ada yang mati karena kami berbeda pendapat.

Seandainya ini terjadi di hal – hal yang lain, bahwa kita sepakat untuk tidak bersepakat, atau mudah nya kita setuju untuk menerima perbedaan, mungkin tidak ada lagi kecaman – kecaman ‘haters’ di media massa yang saat ini menurut saya kata – katanya sudah sangat tidak pantas.Mungkin, tidak ada lagi orang – orang yang dengan seenaknya menghina orang lain dari mulai menghina youtubers sampai kepala negara dengan kata – kata tidak sopan.

Apakah berarti tidak boleh kritis? Tidak bebas menyatakan pendapat? Tentu saja tidak. Semua orang bebas mengeluarkan pendapatnya, semua orang bebas untuk menyatakan pikirannya. Yang menurut saya tidak boleh adalah, mengeluarkan kata – kata kasar, atau mengajak orang lain untuk membenci orang lain berbeda sudut pandangnya, membuat meme – meme penghinaan, membully, bahkan merendahkan orang lain dengan kata kata yang tidak seharusnya diucapkan. Yang paling miris malah ada yang melakukan dengan doa doa kebencian.

Perbedaan pendapat itu hanyalah karena perbedaan sudut pandang, perbedaan cara melihat sesuatu. Ini mungkin karena latar belakang keluarga, pengalaman hidup, dan lain – lain. Jadi semustinya diterima saja ketika orang lain berbeda. Toh, Tuhan juga menciptakan setiap mahluk itu berbeda satu sama lainya. Menurut saya, tidak ada manusia yang diciptakan persis serupa 100% dengan manusia lain – walaupun kembar identik sekalipun, pasti adalah di partikel terkecil tubuh mereka yang berbeda. Itu berarti, Tuhan sendiri menyukai adanya perbedaan. Dan menginginkan kita hidup berdampingan dengan damai bersama manusia yang lain yang berbeda sudut pandang – pemikirannya.

Tidak menyetujui itu jangan dibawa kepada pertengkaran. Perbedaan itu jangan menghidupkan kebencian. Toh sebenarnya kalau ditelusuri – kadang – kadang yang berbeda itu adalah cara memandang, sudut melihat, cara pemikiran. Objeknya ya tetap sama, kalau kasus saya – objeknya wajah orang yang menurut saya ganteng hahahahhaaaha. Jadi untuk apa bertengkar karena itu?

Saya menulis ini sebenarnya karena saya merindukan sekali Indonesia yang seperti saya kecil dahulu, yang selalu menekankan “tepo seliro” – tenggang rasa, menghormati pemikiran – pemikiran orang lain. Yang mengajarkan untuk menerima perbedaan. Berbeda – beda tapi tetap satu (diversity in unity). Jadi yukkkk menjelang 17 Agustus ini, kita kembalikan Indonesia seperti Indonesia yang dahulu. Di mana jaman dahulu Indonesia terkenal dengan bangsa yang ramah. Toh banyak cara untuk mengkritisi tapi dengan cara yang sopan.

Salam damai

Posted in Uncategorized | Tagged | 1 Comment

Conversation with God

Tuhan, banyak yang bertanya padaku tentang hubunganku dan Mu. Pertanyaan yang ringan tapi menurutku sulit untuk dijawab. Bukan, bukan karena keberadaan Mu tidak penting bagiku, tapi karena memang aku merasa hubungan ku dan Mu terlalu istimewa untuk  sekedar dijelaskan oleh kata – kata, dan juga tidak cukup sekedar lewat deklamasi ku tentang apa agamaku yang menunjukkan hubungan ku dan Mu, tapi lebih – lebih dari itu.

Tuhan, pernah ada suatu masa dimana ego ku mempertanyakan keberadaanMu dan kuasa Mu. Ada suatu masa, dimana emosiku mencoret keberadaan Mu di hidupku. Ada suatu masa dimana marahku padaMu membuatku  melontarkan kata – kata yang tidak pantas terucap. Ada suatu masa dimana aku merasa diriMu mempermainkan hidupku. Ada suatu masa dimana bagiku, keberadaan Mu hanyalah sekedar pembawa kemarahan dengan ancaman – ancaman nerakaMu.

Tuhan, dimasa masa kelam ku itu, pernah kumencoba menjadi orang yang terlihat beriman dimata orang lain, dimana doaku dan seluruh ritual keagaamanku kulakukan sekedar menjadi kewajibanku, bukan inginku untuk dekat denganMu. Berdoa kepadamu sesuai dengan perintah agama – tapi hatiku tidak percaya. Berdoa kepadaMu tapi aku masih mencari orang -orang dan benda – benda yang menurutku bisa memecahkan persoalanku. Berdoa kepadaMu tapi jiwaku masih resah. Berdoa kepadaMu tapi hatiku bukan padaMu. Melakukan seluruh ritual agama tapi aku masih tidak perduli dengan sesama, hanya karena takut dengan cemooh sekelilingku dan ancaman nerakaMu. MencariMu diseluruh tempat yang dipersucikan oleh manusia, padahal diriMu tidak pernah jauh dari hatiku selama aku mengijinkanMu memasukinya.

Kemudian, sampai di suatu masa ketika beban hidupku sudah tidak bisa aku angkat, di suatu masa ketika aku tidak mampu lagi untuk melihat jalanku, di suatu masa ketika aku merasa tidak satupun bisa menolongku, di suatu masa ketika aku benar – benar tidak ingin lagi bangun melihat pagi, di suatu masa ketika aku menantangMu dengan mencoba mengakhiri hidupku mendahului takdirMu.

Sampai akhir diujung jalan kelamku  aku memasrahkan diriku, mengakui jiwaku dan hidupku seluruhnya milikMu, dan menyerahkan seluruhnya kepadaMu, agar terjadilah apa yang menurutMu baik untuk ku dan bukan hanya menurutku baik untukku.  Sampai akhir ketika aku tersentil oleh kata – kata – “bagaimana Tuhan mau menolong kalau tidak percaya”, sampai akhir ketika di ujung pasrahku, dikala logikaku dan logika seluruh orang berkata ‘tidak mungkin’ , dan Engkau menjadikan itu mungkin terjadi dihidupku.

Sampai akhir ketika aku dipertemukan dengan buku- buku dan orang orang  luar biasa dimana kemudian melalui mereka, aku belajar untuk mencintaiMu dan bukan takut kepadaMu dan berbicara padaMu  tentang hari- hariku, tentang inginku, tentang persoalanku, tentang mimpiku, tentang kecewaku, tentang bahagiaku menjadi kebutuhan ku dan bukan kewajibanku. Ketika melakukan inginMu sebagai wujud cintaku dan bukan karena iming – iming surgaMu

Tuhan, aku tidak pernah tau apa yang Engkau inginkan terjadi padaku satu menit ke depan,yang kutau hanyalah apa yang terjadi – itu yang terbaik menurutMu. Yang aku tau, bahwa anugerahMu tidak pernah putus untuk ku. Yang aku tau setiap syukurku mendekatkanku padamu, setiap ikhlasku membawaku untuk melihat maksud dari keputusanMu. Yang kupinta mungkin tidak sepantasnya untuk ku, yang kuperbuat mungkin memang belum sesuai dengan inginMu.

Tuhan, aku juga tidak tau tentang suratan batas hidupku didunia, yang kutau hanyalah, aku sudah siap kapan pun ijin hidupku dicabut oleh Mu, hanya mohon ijinMu untuk memberiku kesempatan disetiap langkahku untuk melakukan yang terbaik dan berguna untuk orang – orang disekelilingku sehingga tidak terjadi penyesalan kedua orang tuaku melahirkan ku ke dunia ini.

Posted in Uncategorized | Tagged | Leave a comment

Covid – Manusia dan Penciptanya

Covid yang sedang melanda seluruh dunia memang fenomenal sekali. Ini seperti film Hollywood yang pernah ada – dimana diceritakan bahwa seluruh dunia menderita akibat virus. Dan Covid ini seolah – olah menjadi pembuktian dimana sejarah berulang, karena pada PD I – sudah ada pandemi yang bernama flu Spanyol dimana 500 juta orang yang terkena dan sekitar seperlima nya yang meninggal.

Covid juga banyak merubah kehidupan manusia, yang memutarbalikkan keadaan apapun dalam sekejap. Hidup menjadi tidak sama lagi seperti sebelum COVID. Tapi anehnya saya melihat justru Allah – Tuhan – Sang Pencipta, banyak sekali mengabulkan permintaan – permintaan umatnya lewat Covid ini. Tapi seperti biasa – manusia yang tidak pernah puas, dan selalu merasa jadi ‘korban’ – malah merasa kesal ketika Allah mengabulkan permintaannya.

Contoh yang paling banyak adalah doa untuk bisa bekerja dari rumah, untuk bisa sering – sering bersama keluarga. Ketika Covid ini terjadi dan kemudian hampir banyak pasangan yang bekerja dari rumah, anehnya banyak sekali perceraian yang terjadi, selain itu banyak sekali teman – teman saya yang merasa stress karena bekerja dari rumah. Padahal bukankah itu yang sebelum nya mereka minta kepada Tuhan – Allah – Sang maha Pencipta?

Selain itu, doa – doa tentang keinginan untuk menjadi superhero dengan tidak melakukan apapun. Dan itu kemudian terkabul karena Covid – orang orang yang tidak melakukan apa – apa, yang tinggal di rumah, saat ini adalah pahlawan. Karena dengan hanya tinggal di rumah, berarti membantu agar penyebaran Covid tidak semakin melebar kemana – mana. Tetapi ketika dikabulkan, kemudian, banyak orang yang merasa kesal dan mengumpat karena mereka harus bermalas malasan tinggal di rumah sepanjang hari.

Fenomena yang lain adalah fenomena tentang banyak sekali manusia yang ternyata takut banget terhadap kematian – dan itu adalah manusia – manusia yang tadinya selalu berbicara tentang Tuhan- Allah- Sang Pencipta, memakai segala atribut keagamaan yang mencerminkan apa agamanya. Kalau hidup seperti apa yang dikatakan, apa yang dikenakan (biasanya ketika menggunakan atribut ini selalu mengatakan karena pingin dekat dengan Allah, pingin disayang Allah, perintah Allah) – mengapa takut akan kematian?

Karenanya saya cukup terusik dengan doa – doa yang sering banget diucapkan – yang meminta agar dijauhkan dari bencana ini, dari bencana Covid ini. Padahal, apakah yang diberikan Tuhan – Allah – Sang Pencipta itu dipilih2x judulnya – kalau bagus – itu anugerah – kalau buruk itu bencana? Bukankah Beliau yang paling tau apa yang terbaik untuk kita? Mana mungkin Beliau memberikan yang buruk untuk umatNya? Karena dengan doa – doa untuk dijauhkan dari bencana Covid, menurut saya itu sperti kita mengatakan bahwa Tuhan – Allah – Sang Pencipta, sedang memberikan yang terburuk untuk manusia. Kalaulah kita banyak kehilangan, atau menderita sakit ya karena memang saat itu, itu yang terbaik menurut Beliau.

Selain itu, bukankah sudah jelas sekali – kalau segala yang kita miliki adalah milik Tuhan – Allah – Sang Pencipta. Dan bukankah kematian berarti kembali kepadaNya, dan itu sudah disuratkan dalam perintahNya? Kenapa harus takut? Di Islam ada kata – kata Kun Fayakun – kalau Allah mau maka terjadilah. Kenapa berbeda sekali tindakan dengan kata – kata tentang bagaimana mempercayai Tuhan atau pemakaian atribut yang katanya perintah Allah – Tuhan – Sang Pencipta?

Entah mengapa, saya merasa, saat ini Tuhan- Allah – Sang Pencipta menunjukkan hal tersebut ketika Covid ini. Beliau menunjukkan bagaimana kuasaNya atas hidup manusia, sehingga apapun yang dikerjakan, apapun yang kita lakukan, kita rencanakan – dapat terlaksana kalau sesuai dengan rencanaNya. Karenanya sulit sekali untuk membuat rencana – rencana saat ini. Sulit sekali memprediksi apa yang akan terjadi 1 detik kemudian.

Orang seperti saya, yang terbiasa membuat planning, tentu saja menjadi resah ketika mula – mula Covid ini terjadi. Saya perlu bekerja keras untuk membiasakan diri menghadapi perubahan – perubahan terhadap apapun yang saya rencanakan. Saya perlu bekerja keras untuk beradaptasi, dan bekerja keras untuk menyerahkan segala yang saya rencanakan di tangan Allah- Tuhan – Sang Maha Pencipta. Bekerja keras untuk menurunkan ego – menerima bahwa Yang Menciptakan saya, adalah penentu segalanya.

Saya perlu bekerja keras untuk memperbaiki hubungan saya dengan Allah – Tuhan – Sang Pencipta. Bekerja keras untuk selalu memasrahkan apapun kepada Beliau. Bekerja keras untuk meredam emosi saya, ketika apa yang saya terima tidak sesuai dengan rencana saya. Karena Kun Fayakun – kalau Allah mau maka apapun bisa terjadi. Karena apapun yang terjadi adalah atas kehendakNya bukan atas kehendak saya, bukan atas rencana saya, tapi sekali lagi atas kehendakNya. Karena Beliau yang paling tau apa yang paling baik untuk umatNya, karena Beliau yang paling tau, waktu yang tepat, karena Beliau yang paling tau, apa yang saya butuhkan, dan bukan apa yang saya inginkan.

Covid, juga mengingatkan manusia untuk selalu menghargai waktu. Karena dalam hitungan detik – itu bisa merubah segalanya. Jadi selagi masih ada waktu, jangan pernah menunda kesempatan yang diberikan. Menunda mengucapkan cinta, menunda menelfon teman teman yang ingin ditelfon, menunda mengucapkan terima kasih, menunda meminta maaf, dan menunda yang lain.

Covid juga salah satu bentuk cinta Tuhan terhadap umatNya – dengan cara mengembalikan arti keluarga kepada arti sebenarnya. Kalau tidak ada Covid – sulit untuk melihat keluarga (dalam hal ini di Indonesia), yang bersama – sama mengerjakan tugas rumah. Melihat ayah dan ibu yang saling bekerja sama untuk mendidik anak – anaknya.

Jadi menurut saya, Covid itu cara terindah Tuhan – Allah – Sang Pencipta untuk mengembalikan hubungan manusia dengan Beliau. Agar manusia tidak menjadi egois, agar manusia benar2x bisa ikhlas, agar manusia kembali sadar – bahwa jangan pernah untuk menyia – nyiakan apapun yang dimiliki saat ini. Agar ketika kita meminta sesuatu, dipikirkan kembali – apakah yang kita minta tersebut benar – benar akan membahagiakan kita nantinya, atau permintaan itu hanya untuk kebahagiaan sesaat? Dan agar kita kembali kepadaNya, meminta kekuatan – untuk dapat melangkah sesuai dengan rencanaNya termasuk membiarkan segala sesuatu terjadi menurut kehendakNya, dan bukan menurut kehendak manusia.

Salam

Posted in 'wish', agama, doa, harapan, manusia, menghargai, rohaniawan, Tuhan, umur | Leave a comment