Catatan 17 Agustus 2021

Seperti tahun lalu, 17 Agustus kali ini tidak ada perayaan dan pertandingan – pertandingan yang dilakukan secara luar jaringan (luring). Perayaan – perayaan masih dilakukan melalui internet secara dalam jaringan (daring). Yang sama masih banyak bendera merah putih yang berkibar di rumah – rumah, di depan gedung -gedung. Yang masih sama juga, dari rumah saya, terdengar dentuman – dentuman petasan.

Di salah satu postingan foto tentang kemerdekaan, di salah satu medsos yang saya miliki, ada pernyataan kepada saya, bagaimana mau merdeka kalau saat ini masih di jajah oleh Covid?

Saya kemudian berpikir, apakah saya sedang dijajah oleh Covid? Apakah arti penjajahan itu sebenarnya? Kemudian apa artinya kemerdekaan ?

Saya sendiri tidak merasa saya sedang dijajah oleh Covid. Saya malah merasa, dengan adanya Covid ini, saya banyak berpikir ulang tentang kebebasan yang saya miliki. Berpikir ulang tentang kemerdekaan yang saya milliki.

Sebelum Covid, banyak sekali hal remeh temeh yang sebenarnya menjajah saya (saya tidak tau apakah menjajah orang lain atau tidak), seperti saya lebih mementingkan pekerjaan saya dibandingkan kesehatan saya. Saya lebih mementingkan pekerjaan saya dibandingkan keluarga saya atau bahkan waktu saya untuk diri saya sendiri. Setelah Covid? Saya mulai berpikir banyak tentang waktu saya yang saya habiskan untuk pekerjaan saya. Dimana kalau harus memilih, saya pasti akan memilih pekerjaan saya dibandingkan keluarga saya (mungkin ini sebabnya Allah, belum memberikan saya jodoh yaaaaaa hahahhahhaha, bisa bubar lagi deh rumah tangga saya hahahhahaaha). Padahal, ketika sakit, yang akan perduli dengan saya, ya keluarga saya. Ketika harus bekerja dari rumah berhari – hari, yang menjadi penghibur saya ya keponakan – keponakan saya. Sama seperti kesehatan, kalau saya sakit, pekerjaan saya tidak akan bisa menolong saya, malah akan semakin bertumpuk – tumpuk karena tidak bisa saya kerjakan ketika sakit. Sehingga kalau baru sembuh, trus melakukan pekerjaan yang bertumpuk – tumpuk, alhasil yang ada, kesehatan saya akan menurun lagi, akan sakit lagi.

Jadi sejak masa – masa Covid ini, kalau saya merasa tubuh saya kurang fit, atau saya kecapean, saya akan meminta waktu untuk tidak bekerja. Bahkan ketika saya sudah merasa saya stress banget dengan pekerjaan saya, saya akan terus terang berkata kepada atasan saya, untuk minta waktu istirahat. Di mana selama waktu tersebut, saya tidak akan membuka email, menjawab pesan – pesan di medsos yang saya miliki. Bahkan Sabtu/Minggu atau hari libur lain, saya benar – benar akan berhenti dari pekerjaan saya. Mengapa? Karena itulah kemerdekaan saya untuk waktu yang saya miliki.

Selain itu, saya adalah orang yang sangat takut untuk ‘ditolak’ oleh orang lain. Saking belum “merdeka”nya saya dengan perasaan takut ditolak, oleh orang lain, saya takut banget mengirimkan pesan kepada orang lain – walaupun pesan itu sebenarnya hanya pertanyaan mengenai kabar. Saya takut banget orang orang merasa terganggu dengan saya. Dan sebagai orang yang sensitif, saya juga merasa “terluka” kalau pesan yang saya kirimkan tidak dijawab (yup I am a silly person). Padahal mungkin orang tersebut lagi sibuk, atau lupa menjawab, atau memang, tidak ingin menjawab saja – mungkin malah karena tidak tau menjawab saja. Tapi, bagaimana saya tau reaksi orang tersebut apabila saya tidak mencoba mengirimkan pesan?

Dan yang paling parah yang saya alami pada saat pandemi Covid ini, adalah banyak banget teman – teman saya yang ingin saya tanyakan kabarnya, yang ingin saya ucapkan terima kasih, yang ingin saya ucapkan pujian atas apa yang dilakukan, yang kemudian meninggal dunia, sebelum saya sempat mengirimkan pesan yang saya inginkan kepada mereka. Penyesalan saya bertubi – tubi karena ini. Hanya karena terjajah oleh perasaan takut ditolak, takut tidak dijawab, takut mengganggu dan segala macam takut, saya tidak melakukan apapun yang ingin saya lakukan.

Setelah Covid? Saya akan mengirimkan pesan kepada siapapun yang saya pikirkan, yang ingin saya hubungin. Tentu saja, kadang kala, pesan saya tidak dijawab, atau kalaupun dijawab, mungkin berbulan – bulan kemudian. Apakah saya sedih ? Ya masih sering ada, tapi ini terhapus kalau saya mengingat kembali, apa yang terjadi sebelum – sebelumnya. Saya tidak mau terjajah kembali oleh pikiran – pikiran saya sendiri, asumsi – asumsi saya, yang belum tentu benar. Kalaupun benar, toh juga tidak mengapa, mungkin ada sesuatu yang saya lakukan menyakiti mereka, dan ini jadi masukan untuk saya untuk memperbaiki diri saya.

Sebelum Covid, saya juga merasa sering terpaksa melakukan sesuatu, agar dianggap baik oleh orang lain. Saya tidak merasa merdeka untuk menentukan apa yang ingin saya lakukan, saya membiarkan banyak orang untuk tidak menghargai saya terutama oleh orang – orang yang yang cukup dekat dengan lingkungan saya. Misalnya, ada orang yang sering sekali membatalkan janjinya di detik detik terakhir, dan saya dengan bodohnya, masih mengiyakan ketika dia seenaknya merubah jadwalnya – seolah olah saya tidak mempunyai urusan lain, hanya karena faktor kedekatan saya dan dia. Karena saya takut banget menyakiti dia, seandainya saya menolak mengubah jadwal. Saya malah mengusahakan saya bisa mengikuti jadwal yang diberikan (dan itu seringkali berarti saya harus mengubah jadwal saya yang lain).

Atau saya mengiyakan ketika orang lain membuat saya menjadi pilihan kedua, misalnya, hanya karena tidak ada yang mau mengerjakan, saya diberikan pekerjaan tersebut. Karena biasanya dilakukan oleh orang /organisasi yang sama, saya tau betul, kalau ada orang lain, pasti orang/organisasi itu akan memilih yang lain dari pada saya. Kemudian, walaupun saya sudah melakukan pekerjaan sebaik – baiknya, termasuk saya harus mengurangi jadwal tidur saya dan mengeluarkan ekstra energi bahkan ekstra dana pribadi untuk itu,dikemudian hari, untuk apapun yang saya lakukan kepada orang/organisasi tersebut, saya tidak akan pernah masuk ke dalam undangan, atau orang yang patut dihargai oleh orang/organisasi tersebut. Dan saya hanya diam. Bahkan tetap menerima kalau orang/organisasi,tersebut melakukan hal yang sama berulang – ulang kali kepada saya.

Saya akan merasa saya tidak enak banget untuk menolak. Saya ingin menjadi orang baik, saya ingin diterima oleh orang lain. Saya takut orang lain akan meninggalkan saya, kalau saya tidak menjadi orang baik. Tapi setelah Covid, di mana saya punya waktu banyak untuk merenung bagaimana saya mencintai diri saya, punya banyak waktu untuk belajar tentang diri saya, saya menyadari mengapa orang – orang sering sekali melakukan hal tersebut kepada saya, sepele dengan jadwal saya, perduli hanya ketika perlu dengan saya dan lain lain, dan itu karena ketidak merdekaan saya untuk mencintai diri saya sendiri.

Jadi saya sendiri lah yang sebenarnya membuat orang menyepelekan saya. Saya sendiri yang membuat orang lain meninggalkan saya. Bahwa cara saya membiarkan orang lain tidak menghargai saya adalah cara saya mengajarkan kepada orang lain, bagaimana mencintai diri saya. Oleh karenanya tidak salah juga ketika orang – orang begitu seenaknya kepada saya, menyepelekan saya. Karena itulah yang saya ajarkan kepada mereka. Itulah yang mereka baca dari saya, itulah yang mereka anggap saya inginkan. Untuk tidak diperdulikan, untuk disepelekan.

Setelah covid? Saya akan mengatakan tidak, kalau saya tidak bisa. Saya akan mengatakan tidak kalau saya hanya menjadi pilihan kedua, atau saya tau bahwa saya diminta bukan karena mereka menghargai saya tapi karena orang yang mereka inginkan menolak. Saya akan mengatakan tidak, kalau saya tidak mau melakukan sesuatu walaupun yang meminta itu adalah senior saya, teman dalam lingkaran terdekat saya. Saya tidak akan mengerjakan sesuatu yang tidak saya sukai dan tidak akan mengerjakan sesuatu untuk orang lain atau organisasi yang tidak menghargai saya. Saya tidak akan lagi membuang – buang waktu saya untuk sesuatu/seseorang yang tidak mencintai saya.

Saya belajar untuk mencintai diri saya sendiri dan mengajarkan orang lain bagaimana saya ingin dicintai. Bagaimana orang lain mencintai saya kalau saya sendiri tidak merdeka untuk mencintai diri sendiri?

Jadi kalau ditanya, apakah saya merasakan bahwa saya tidak merdeka karena Covid? Saya akan mengatakan tidak. Saya belajar banyak tentang arti “merdeka” justru karena Covid. Bagaimana dengan anda?

Salam kemerdekaan.

About kharinadhewayani

I am just an ordinary woman who wants to share her mind and her dreams to the world.
This entry was posted in Uncategorized and tagged , . Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s