Di akhir perjalanan liburan saya minggu lalu, saya memikirkan tentang ibu saya . Tentang hubungan saya dan ibu. Karena ada seseorang yang baru saya kenal, yang mengatakan kepada saya, saya sulit mendapatkan jodoh karena ibu saya. Ada sesuatu yang membuat ibu saya merasa kecewa kepada saya. Ada perbuatan saya yang mungkin menyakiti beliau. Ada keinginan beliau yang tidak saya penuhi yang mungkin membuat beliau kecewa.
Untuk pertama kalinya di hidup saya, saya terpukau dengan kesimpulan orang tersebut, terlebih karena orang tersebut tidak mengenal saya maupun ibu saya secara dekat. Saya yang selalu merasa benar ini, merasa bahwa saya semestinya sudah menjadi putri yang berbakti kepada ibu saya. Saya selalu merasa saya sudah melakukan ‘the best that I can do as her daughter’. Dan saya tidak pernah berpikir sedikitpun kalau apa yang saya lakukan malah ada yang membuat ibu saya kecewa besar sehingga menghalangi jodoh saya. Tentu saja, pertama – tama saya merasa sangat marah dengan kesimpulan ini.
Waktu yang seharusnya saya pergunakan untuk tidur pun – kemudian saya gantikan untuk berpikir ulang tentang hubungan saya dan ibu saya. Saya berusaha berpikir dengan pola pikir ibu saya, berpikir dengan sudut pandang yang dipergunakkan ibu saya. Dan secara menakjubkan saya menemukan kalau saya menjadi ibu saya, pasti saya juga banyak menyimpan kekecewaan dengan diri saya. Ada banyak kejadian besar di hidup saya, yang tidak pernah saya mintakan ibu saya menjadi bagian terbesarnya. Ada banyak kejadian di keluarga saya, yang saya paksakan ibu saya untuk menerima keputusan saya, tanpa perlu saya pertanyakan persetujuannya.
Baik yang saya pikirkan, ternyata belum tentu baik untuk ibu saya. Apalagi sering keputusan – keputusan saya itu , tidak saya jabarkan alasan nya , karena menurut saya ibu saya cukup menerima apa yang menjadi keputusan. Mungkin saja, kalau saya punya kesabaran yang panjang, tidak terlalu emosional, saya bisa menjelaskan alasan – alasan keputusan saya tersebut, dan mungkin bisa membuat ibu saya mengerti dengan jalan pikiran saya tanpa harus merasa kecewa.
Saya sebagai anak seharusnya lebih menjaga hati beliau, saya yang lebih muda ini seharusnya punya waktu yang lebih panjang untuk menjelaskan kepada beliau. Saya yang lebih kuat, seharusnya lebih bisa menahan diri saya dan emosi saya, lebih bisa menahan”letih” saya. Saya seharusnya tidak menjadi jumawa dengan diri saya, sehingga tidak mau sedikit lebih menundukkan kepala dan hati saya kepada beliau yang melahirkan saya. Untuk pertama kalinya, saya merasa gagal menjadi putri yang berbakti kepada ibu saya, dan saya merasa bersalah.
Jadilah kemudian untuk pertama kalinya juga, pulang dari perjalanan – saya mengajak ibu saya pergi makan malam bersama, berbelanja – melakukan semua yang saya tau menjadi kesengannya. Ibu saya sendiri, terkaget – kaget mendengar ajakkan saya, karena beliau tau persis, biasanya setelah perjalanan baik liburan ataupun dinas apalagi terutama apabila keesokkan harinya saya harus bekerja, apapun yang terjadi saya tidak akan mau keluar dari kamar saya. Berkali – kali beliau memastikan apakah saya tidak cape, apakah saya yakin dengan ajakkan saya karena menurut beliau, toh bisa dilakukan di lain waktu. Tapi saya meyakinkan beliau, saya ingin menghabiskan sore dan malam bersama beliau.
Sepanjang perjalanan kami, tidak pernah lepas wajah beliau dari senyum, bahagia menceritakan perkembangan cucu – cucunya, tentang nenek saya, tentang keluarganya, gosip – gosip tetangga, tentang semua nya. Walaupun saya harus kosentrasi tidak menunjukkan keletihan saya, tapi saya merasa cukup bahagia melihat wajah bahagia beliau. Bahkan untuk pertama kalinya ketika saya menceritakan tentang teman yang baru saya kenal di sana – beliau menanyakan ‘status’ teman saya tersebut. Padahal biasanya tidak pernah jadi bahan pembicaraan dengan saya. Dan kemudian ditambah lagi, karena antusiasnya – sampai pulang ke rumah, menjelang saya tidur pun beliau masih bercerita tentang banyak hal 😀 Saya sendiri, untuk pertama kali nya juga tidak mengucapkan sesuatu yang bertentangan dengan pendapatnya. Mungkin itu juga yang membuat beliau bahagia. LOL
Saya mungkin tidak akan pernah bisa jadi ‘perfect daughter’ untuk ibu saya dan juga mungkin juga sebenarnya jodoh belum saya temukan bukan karena ibu saya. Tapi apapun itu, dalam hati kecil saya, saya tidak ingin membuat beliau kecewa karena telah melahirkan saya ke dunia dan saya juga tidak ingin menjadi salah satu beban beliau yang menghalangi bahagianya, yang menambah kerut di wajahnya. Dan doa saya, semoga suatu saat ibu saya bisa berbangga hati mempunyai anak perempuan seperti saya. Aamiin
PS: For some one who was rising this theme for me – THANKS A LOT (for listening and especially for being brave enough to talk about it to me LOL )
Karena cara pandang yang berbeda itulah kadang timbul kekecewaan dari orang tua. Saya kira hanya masalah komunikasi saja yang perlu diperbaiki dengan banyak mengalah dan meminta maaf ke ibu, selalu meminta doa ibu secara lesan ketika akan melakukan seuatu itu akan cukup membahagiagan ibu.Ini akan menjadi bentuk pengakuan seorang anak kepada ibu tercintanya. Insya Alloh nanti akan memperlancar urusan2 lain
Aamin. Thanks sarannya ya mas 😀
Salam
Kharina