Ketika Aktivis/Penggiat LSM pun menjadi Jumawa

Sudah sekitar hampir 8 tahunan saya bekerja di organisasi nirlaba – non government organization (ngo) – lembaga swaya masyarakat (lsm).  Kenapa saya memilih bekerja di sana? Sebetulnya bukan memilih – itu hanya karena saya melamar lowongan yang ada dan kemudian saya diterima bekerja di sana. Persyaratan yang saya minta bisa mereka penuhi, ditambah dengan perlakuan mereka terhadap status saya sudah jelas – tidak ada pendiskriminasian – tidak ada sindiran – sindiran nakal tidak jelas, baik secara organisasi maupun secara individu. Dan itu jelas terlihat di peraturan organisasi tentang sanksi apa yang akan dijatuhkan apabila mereka melakukan pendiskriminisasian ataupun pelecehan terhadap status seseorang. Dalam hal ini, sangat berbeda jauh dengan perusahaan – perusahaan swasta di Indonesia, dimana saya pernah bekerja atau bahkan melamar kerja sebelumnya.

Karena saya bekerja dan digaji seperti layaknya pegawai biasa, maka sebutan “AKTIVIS”  saya tolak mentah – mentah. Dimata saya, aktivis itu adalah adalah seseorang yang karena kecintaan nya  rela bahkan untuk tidak dibayar demi perjuangan terhadap masyarakat dan negaranya. Saya sendiri – tentu saja tidak akan mau bekerja, andai saja gaji yang dibayarkan organisasi saya lebih kecil dari biaya hidup saya dan tentulah saya jelas – jelas menolak apabila sampai saya tidak digaji. Saya bukan lah orang semulia itu. Kalau ada yang bertanya pada saya, apakah saya pernah bertemu orang seperti ini – rela digaji seadanya demi masyarakat – saya bisa yakin kan ‘YA” karena saya beruntung sekali,  pernah bertemu orang – orang seperti ini .

Ketika ditanya apakah saya bahagia kerja di LSM? Tentu saja jawabnya iya. Saya banyak belajar hal yang baru, saya dapat pergi – pergi ke pelosok kampung yang belum punya listrik dan sanitasi yang baik. Saya menjadi tau tentang pentingnya kepedulian terhadap lingkungan hidup, apa efek gas rumah kaca, apa dll. Saya belajar melihat sesuatu dari segi yang lain. Setelah pernah melihat dari sisi rakyat, pemerintah, perusahaan dan kemudian LSM (my life almost complete . LOL)

Kemudian ketika saya pindah ke Jakarta, bergabung di LSM tempat saya bekerja, banyak hal – hal yang ‘aneh’ yang saya rasakan. Banyak hal – hal yang membuat saya takjub sendiri, dan pandangan saya terhadap banyak pekerja LSM berubah total.  Mungkin cara pandang saya yang terlalu tinggi untuk para penggiat LSM yang sering menamakan dirinya Aktivis  ini, dimana menurut bayangan saya para penggiat LSM/Aktivis seharusnya adalah orang – orang  yang menyuarakan kepentingan masyarakat, disaat pemerintah mulai galau dengan masalahnya sendiri sehingga terlupa dengan masalah masyarakatnya.

Sering kali kemudian saya menemukan bahwa pendapat – pendapat mereka, tanpa sebelumnya dicek dan ricek dulu kebenarannya, ataupun meilihat dulu faktanya, memandang dulu dari sisi yang lain.  Yang menurut saya akhirnya menjadi pembodohan terhadap masyarakat.  Kenapa menjadi pembodohan? Karena masyarakat yang tidak mengerti apa -apa ini, karena diiming – iming akan hidup sejahtera apabila setuju dengan pandangan – pandangan para aktivis ini,  kemudian menyetujui sesuatu yang jauh dari kebenaran.

Semestinya para penggiat LSM/Aktivis itu bisa bertindak netral, berada ditengah – tengah di antara masyarakat dan pemerintah, membantu ke duanya mencari jalan yang terbaik. Mencari solusi yang paling terbaik untuk kedua belah pihak, dan bukan malah mengadu domba satu dengan yang lainnya.  Semakin meperkeruh suasana yang sudah keruh sebelumnya. Dan bukan mencoba mencari akar permasalahannya dan membantu mencari solusinya.

Dan parah nya kemudian – banyak para pekerja LSM/Aktivis ini merubah posisinya menjadi jumawa – sombong, yang seakan – akan kata – katanya adalah jalan penunjuk kebenaran. Kalau mereka mencap sesuatu salah, maka sudah pasti 100 % salah, dan begitu sebaliknya. Kemudian dilanjutkan dengan sering kali mengatas namakan ‘masyarakat’ apabila mereka akan mendeklarasikan sesuatu – yang seringkali tidak jelas masyarakat mana yang mereka atas namakan (saya beberapa kali menjumpai salah satu penggiat LSM/Aktivis yang mengatas namakan masyarakat daerah B, tapi begitu saya ke daerah B, tidak ada masyarakat yang kenal dengan beliau)  . Kalau ada yang  orang – orang  yang  tidak setuju, terutama  apabila orang tersebut merupakan bagian dari pemerintah – berarti orang itu neo liberal – tidak pro masyarakat, pro pemerintah dll.  Bahkan setumpuk kebenaran yang dipaparkan tidak akan pernah diterima (walaupun sudah jelas data – datanya), apabila berbeda dengan pendapat mereka.

Malah tidak jarang beberapa twitter dari para penggiat LSM/Aktivis ini kata – katanya mengutuk keluarga orang – orang yang mereka tidak suka dengan kata – kata yang tidak mendidik – malah cenderung tidak pantas diucapkan didepan publik . Yang menurut saya, tidaklah beliau – beliau ini terlihat gagah dengan mengeluarkan kutukan – kutukan kepada keluarga orang lain.  Tidaklah beliau – beliau ini menjadi pahlawan dengan mengutuk  seperti itu.

Yang paling kasian tentunya adalah masyarakat. Mereka yang merasa para penggiat LSM/Aktivis ini adalah manusia setengah dewa, yang kata – katanya harus didengar, yang akan membela mereka mati – matian, yang kemudian menjadi tersulut emosinya, yang berdemo tanpa tau apa sebenarnya yang terjadi. Malah tidak jarang kemudian karena terlalu emosi, tidak jarang demo ini diikuti dengan sifat anarkis – merusak segala yang ada di sana.

Tidak jarang juga saya bertemu dengan para penggiat LSM/Aktivis yang berbicara sekeras – kerasnya menuntut transparansi pemerintah, tapi ternyata tidak bisa transparan dalam menjalankan aktivitasnya. Atau para penggiat LSM/Aktivis yang paling keras mengutuk kerja pemerintah tapi ketika mereka terpilih menjadi bagian dari pemerintahan. Mulailah mereka menistakan diri mereka dengan mengata kan hal – hal yang sebelumnya mereka tentang. Mereka melakukan hal – hal yang tidak jauh berbeda dengan orang – orang yang mereka caci maki sebelumnya.

Kemudian lebih sering saya melihat para penggiat LSM / Aktivis tidak memanusiakan teman nya seama penggiat LSM baik yang berada dinaungan LSM yang sama atau berbeda , dan bertindak tanpa hati  apabila jabatan, pengalaman, pendidikan jauh lebih rendah dari mereka.  Yang membuat saya berpikir, bagaimana mau membela masyarkat yang tidak mereka kenal, apabila mereka sendiri tidak mempunyai hati nurani kepada teman nya sendiri? Apakah muka manis yang mereka tampilkan sama seperti para pejabat disana? Dimana pencitraan menjadi bagiannya.

Saya sendiri benar – benar berharap agar para penggiat LSM/Aktivis yang merasa dirinya adalah AKTIVIS pembela masyarakat – agar kembali berkaca,  kembali belajar membaca, mendengar – membiarkan orang lain bebas mengemukakan pendapatnya terlebih  dahulu sebelum berbicara ( saya yakin tentu masih ingat pembelajaran TOT tentang guru pembebasan :)). Cobalah kembali melihat dan mempelajari segala sesuatu dari berbagai sisi sebelum menyatakan pendapat, cobalah sedikit mengurangi keangkuhan, cobalah menjadi lebih manusiawi, dan berani bertanya kepada diri sendiri, apabila posisi nya dibalik, apakah mampu bertindak berbeda dari mereka?   Jangan malah membuat masyarakat jadi bingung, jangan membuat masyarakat hanya sebagai alat pemenuhan ego.  Belajar lebih dahulu mencintai dan berempati pada lingkungan sekitarnya sebelum beralih ke tempat lain yang jauh.

Saya sendiri cukup beruntung bekerja, di LSM yang cukup netral, yang segala pendapat boleh kita kemukakan apabila cukup punya data dan fakta, dan bukan cuman sekedar ‘katanya’ dan ‘katanya’ atau sekedar menyenangkan hati masyarakat atau LSM yang lain. Tidak diharamkan untuk  mendukung program pemerintah kalau memang program itu benar, dan boleh menentang apabila programnya tidak sesuai dengan catatan harus juga mampu membantu memberikan solusi – jalan terbaik yang benar.

Saya juga masih sering bertemu dengan banyak aktivis /pekerja LSM yang masih mengutamakan hati nuraninya, yang benar – benar memikirkan masyarakat sekeliling nya, yang mau mendengar sebelum berbicara. Yang mengenal masyarakatnya dan bukan hanya tau daerah nya. Yang bisa melihat segala sesuatu dari sisi yang paling netral.  Dan tau modal menjadi aktivis adalah rasa kepedulian bukan sekedar ilmu dari universitas ternama.

Salam

 

 

 

 

 

About kharinadhewayani

I am just an ordinary woman who wants to share her mind and her dreams to the world.
This entry was posted in Indonesia ku, masyarakat. Bookmark the permalink.

2 Responses to Ketika Aktivis/Penggiat LSM pun menjadi Jumawa

  1. sendja says:

    kalo di daerah, ‘oknum’ lsm nya malah pd suka ngancam2 instansi pemerintah, ujung2nya minta tender atau paling ngga dpt ‘upeti’.
    udah kaya lingkaran setan…pejabat pemrentah makan duit rakyat, anggota lsm dpt kartu truf buat intimidasi demi kepentingan pribadi, fungsi pengawasan mandul..rakyat kecil tetep aja ga ada yg mikirin.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s