Judul panjang ini jadi inspirasi saya, karena pelatihan yang sedang saya ikuti saat ini. Menarik untuk saya karena saya sering terjebak untuk menggunakan topeng. Saya terjebak dengan kepercayaan saya sendiri, kalau topeng saya lebih indah di pandang dan lebih bisa diterima orang orang dari pada saya yang sebenarnya. Saya punya dua topeng …..
Topeng pertama, adalah saya yang bisa melakukan segalanya, saya yang perfect – anak manis yang tidak akan mau melakukan kesalahan apapun, yang tidak akan menuntut dan meminta apapun, yang akan bisa menyelesaikan segala masalah, yang tidak akan mengecewakan orang orang, yang kuat, yang pintar, yang tidak punya masalah apa apa, yang tegar. Topeng yang selalu saya tunjukkan kepada orang orang yang terdekat saya, keluarga saya, sahabat sahabat saya, mantan teman hidup dan mantan mantan cinta yang lain 😀
Tadi malam sepanjang perjalanan pulang ke rumah saya mencoba mengingat, apa yang membuat saya seperti ini. Ternyata karena dari kecil, sebagai anak kedua, saya merasa sulit mendapat perhatian dari orang tua saya. Papa yang terlalu bangga dengan kakak saya yang selalu dipuji cantik setiap saat, yang selalu dianggap lucu apabila berbuat salah, yang selalu mendapatkan yang terbaik, dan mama yang terlalu sibuk dengan adik saya.
Satu satunya waktu mereka memperhatikan saya ketika mereka berbicara tentang prestasi sekolah, ketika pembagian raport – karena nilai yang selalu diatas rata rata teman sekelas saya, ketika saya bisa menyelesaikan masalah saya sendiri, ketika saya mandiri atau ketika saya menjaga adik adik – menyelesaikan masalah adik adik atau ketika hanya saya sendiri yang tidak meminta apapun sewaktu saudara saudara saya sibuk dengan berpuluh permintaan atau ketika orang tua saya dipangggil ke sekolah atau ditegur orang karena tingkah laku mereka. Mama malah selalu bilang, “kamu tidak cantik tapi kamu pintar.” Dan itu yang selalu tertanam di pikiran saya, saya tidak cantik – yang membuat saya tidak perduli dengan dandanan saya, karena saya merasa saya untuk apa, toh saya memang tidak cantik.
Kemudian ditambah lagi dengan tekanan keduanya bawa orang orang akan menyayangi saya kalau saya terus punya prestasi dan tidak menyusahkan orang lain, tidak menjadi beban kepada orang lain dan yang selain itu saya harus menjaga adik adik saya, sehingga kalau saya melakukan sebaliknya, maka orang orang akan meninggalkan saya termasuk orang tua saya. Saya semakin percaya semua itu harus saya lakukan agar saya bisa disayangi orang lain.
Dan kemudian itulah yang terjadi, saya berusaha menjadi yang terbaik, anak manis, selalu berusaha menjadi kind of hero yang bisa menyelesaikan segalanya. Tidak perduli bagaimana lelah nya saya, saya pasti akan melakukan semua itu. Efeknya ?
Tidak jarang saya membuat orang bergantung kepada saya. Di tim saya, pasti anak buah saya merasa saya terlalu galak, terlalu otoriter, terlalu serius karena memaksa mereka mencapai target, dan tidak jarang kemudian membiarkan saya menyelesaikan pekerjaan mereka, karena saya tidak sabaran dengan pekerjaan mereka. Akibatnya saya menjadi sering kelelahan sendiri karena harus menyelesaikan banyak hal sekaligus sendirian, saya keteteran membagi waktu – karena semua orang menuntut waktu saya. Dan anehnya ketika saya berhasil, saya merasa hampa. Saya merasa kosong. Saya merasa kesepian.
Lain lagi dengan orang terdekat saya, mantan teman hidup saya. Mereka merasa saya tidak membutuhkan mereka. Mereka merasa saya tidak menghargai mereka. Mereka merasa, apapun yang mereka berikan tidak akan pernah cukup bagi saya, karena saya mampu menyelesaikan lebih baik. Padahal, semua itu karena menurut versi saya, adalah cara saya menunjukkan rasa sayang saya dan juga kare saya takut menyusahkan mereka dengan permintaan permintaan tolong saya, dengan permasalahan saya. Saya takut mereka meninggalkan saya, karena merasa terbebani dengan saya. Saya takut mereka tidak lagi mencintai saya karena mereka melihat saya tidak mampu menyelesaikan masalah mereka ataupun masalah saya sendiri. Saya takut mereka kecewa melihat saya yang sebenarnya. Sungguh saya merasa takut.
Yang kedua adalah topeng pemarah yang hampir selalu, saya perlihatkan ketika saya merasa tidak nyaman dengan diri saya, ketika saya khawatir (misalnya teman yang sakit maag, tapi tidak mau makan), ketika saya sedih luar biasa atau malah yang paling parah ketika saya mencintai seseorang yang tidak saya tau apakah dia mencintai saya atau tidak. Saya merasa dengan kemarahan itu saya bisa memproteksi diri saya, sehingga tidak ada yang bisa menyakiti saya.
Saya merasa dengan kemarahan itu harga diri saya tidak akan jatuh karena orang orang tidak bisa melihat kelemahan saya (dari kecil, saya dididik kalau saya terlihat tidak tegar, tidak kuat, cengeng, membutuhkan orang lain – maka berarti saya lemah – dan hanya orang orang yang tidak punya harga diri lah yang lemah). Padahal hampir setiap kali saya selesai marah, saya merasa menyesal sudah menyakiti orang dengan kata kata saya. Biasanya kepada beberapa orang saya berani meminta maaf kemudian tapi ya, seringkali itu menjadi tidak berguna mereka terlanjur sakit hati dan menjauhi saya malah banyak orang yang menjadi takut mendekati saya. Takut dengan kata kata saya yang terdengar kasar.
Saya tidak tahu apakah setelah tulisan ini orang orang akan meninggalkan saya, kecewa. Atau menjauhi saya. Atau menganggap saya adalah pengecut. Atau mencemooh kelemahan saya. Entahlah, saya serahkan semuanya kepada mereka.
Saya memilih mengambil resikonya karena yang saya tahu, ketika saya menuliskan ini, ketika mentor saya menelfon saya dan menanyakan apa yang saya rasakan, saya merasa ringan, perasaan yang sama yang pernah saya rasakan ketika sebulan lalu saya untuk pertama kalinya menangis di depan orang lain sewaktu menceritakan pengalaman saya, yang biasanya ketika saya menceritakan sesuatu yang emosional, saya akan tertawa atau marah.
Yang pasti rasa ringan yang saya rasa kan membuat saya lebih bisa berpikir jernih dan itu sebanding dengan resiko yang saya ambil.
Salam