Hari Sabtu sore kemarin, saya si pengguna setia bis umum ibukota, sepulang bekerja di kantor (ya, saya harus merelakan hari Sabtu – Minggu saya, sampai dengan minggu depan dipergunakan kembali oleh kantor saya tercinta), demi agar tidak terjatuh sewaktu hendak turun dari bis, merelakan tangan kanan saya untuk menahan badan saya.
Peristiwa ini sebenarnya biasa saja, kalaulah pintu si bis manis ini tidak tajam sehingga melukai jempol kanan jari saya, merobeknya cukup dalam dan membuat saya akhirnya bisa melihat, putihnya tulang jempol kanan saya yang manis ini.
Karena luka robekan tersebut cukup besar, dan besi yang melukai saya tidak bisa dibilang aman dari karatan, maka dengan berat hati saya yang sering menghindari mahluk yang bernama jarum suntik dan dokter, terpaksa merelakan tangan saya untuk dijahit empat jahitan agar kembali indah, dan bisa berfungsi seperti semula.
Sebenarnya semua proses yang saya lalui di ruangan UGD tersebut menurut saya masih termasuk nyaman. Apalagi dokter dan suster yang melayani saya sering melontarkan joke – joke yang membuat saya sejenak melupakan sakit yang saya rasakan.
Masalah kemudian timbul ketika saya harus mendaftarkan diri untuk membayar dan mengambil obat yang saya perlukan. Di ruangan pendaftaran, si mbak manis berjilbab yang duduk didepan komputer, berulangkali salah menuliskan nama saya, walaupun sudah saya eja dengan ejaan yang disempurnakan yang biasa dipakai di hotel – hotel dan travel biro atau penerbangan – kharina (kilo hotel alfa romeo india November alfa) dan ini kemudian menjadi Khairina, Kaharina dan terakhir saya melihat di kuitansi membayaran menjadi CARINA !!!!
Masalah yang berikut timbul ketika si mbak, keukeuh (red: bahasa jerman dari keras kepala), menanyakan status saya. Pilihan : lajang, menikah, bercerai. Saya yang tidak mengerti apa hubungan status saya dengan pendaftaran untuk pembayaran jasa pelayanan rumah sakit yang sudah saya terima dan pembayaran obat yang harus saya tebus, tentulah menanyakan apakah dengan perbedaan status maka pembayaran akan berbeda.
Si mbak, yang tampaknya amat sangat sabar menghadapi saya, walaupun jam sudah menunjukkan jam 9.30 malam, dengan tersenyum hanya bisa menjawab bahwa, status saya tidak akan menambah atau mengurangi pembayaran biaya rumah sakit saya. Dan pertanyaan saya kemudian, kalau tidak ada pengaruhnya, kenapa harus ditanyakan? Si mbak lagi – lagi hanya tersenyum.
Ini bukan pertama kali saya diharuskan untuk menjelaskan status saya di rumah sakit. Sudah berulang kali. Padahal semua perawatan yang saya lakukan tidak ada hubungannya dengan apakah saya sudah menikah atau belum. Pertama, itu bukanlah tindakan operasi yang memerlukan tanda tangan pasangan atau orang tua atau saudara. Dan kedua bukanlah pemeriksaan kehamilan saya.
Saya tidak pernah malu dengan status saya. Orang – orang yang terdekat dengan saya tentulah tahu pasti. Menurut saya, kenapa saya harus malu dengan status saya, toh saya tidak merugikan orang lain dengan status yang saya sandang. Dan toh status saya tidak membuat saya mati. Tapi pertanyaan soal status ini malas saya jawab, apabila saya merasa pertanyaan nya tidak relevan (red: saya pernah membatalkan pemeriksaan kesehatan yang ingin saya lakukan di salah satu rumah sakit, hanya karena, suster dan dokter juga bersikeras memaksa saya menjawab tentang status saya – padahal yang ingin saya periksa hanyalah mata saya!!!)
Kemudian karena saya tetap menolak untuk menjelaskan status saya, si mbak menanyakan, apa yang saya mau ditulis didepan nama saya : Nona atau Nyonya. Uhm ….. agak aneh.Apa bedanya saya dengan embel = embel nona dan saya dengan embel – embel nyonya, kalau tarif yang harus saya bayarkan juga tidak berkurang.
Akhirnya karena waktu yang semakin malam, dan saya yang sudah dalam kelelahan yang luar biasa, juga karena sudah kekurangan banyak darah akibat luka robekan tadi, menyerah, hanya bisa bilang : ‘mbak…. terserah mau diisi apa, saya cuman mau bayar, ambil obat dan pulang’.
Dan ingin tau apa yang ditulis si mbak sewaktu saya mengambil kuitansi dan menebus obat? NONA CARINA ….. !!!!!!
Saya hanya bisa pasrah, membayar menebus obat, pulang ke rumah, mandi dengan susah payah karena si jempol tidak boleh basah kena air, makan seadanya, minum obat dan tidur. Dan dalam doa malam yang saya panjatkan, saya hanya bisa meminta, agar jempol saya bisa cepat sembuh, pemerintah terutama pemda ibukota mau membeli bis – bis umum yang baru sehingga tidak ada lagi korban – korban besi karatan seperti saya yang belum mampu membeli mobil sendiri tapi belum bisa juga membayar taksi untuk pergi – pulang kantor sehari – hari. Dan yang paling utama, juga tidak perlu lagi ada pertanyaan – pertanyaan yang tidak ada hubungannya di rumah sakit, seperti soal status. Terakhir agar si mbak yang tadi melayani saya, benar – benar tersenyum di hatinya, bukan hanya sekedar di bibir, tapi di hati mengutuki saya, pasien yang terlalu cerewet ini. Aamiin.
blognya aku link ke blog ku ya mak?
okeh nduk
Bukannya Kharina (Dewayani) dan Carina (Kartika) sama aja ya…sama2 bawelnya 😀
#eh
ah enggak bawel deh …. ramah dan lagi tidak sombong 😀