Anakmu bukan sanderamu

Di umur saya yang sudah sebanyak ini, banyak dari teman – teman saya yang sudah menikah dalam hitungan di atas lima tahun dan mempunyai anak anak yang lucu – lucu dengan tingkah polahnya. Tentu saja bagi saya, yang sampai saat ini belum dipercayakan oleh Yang Maha Kuasa untuk mempunyai anak, tidak jarang dan hampir sering sekali menjadi kecemburuan tersendiri 😀

Tapi dari serangkaian teman – teman yang saya cintai, yang menceritakan hiruk pikuknya berumah tangga, tidak jarang, malah menceritakan tentang kehidupan mereka yang sedang dalam taraf yang tidak baik dengan pasangannya. Pangkal masalah nya? Banyak, dari mulai tidak cinta lagi, mencintai orang lain, adanya banyak perbedaan yang tidak dapat dipersatukan kembali, tidak ada komunikasi, kekerasan dalam rumah tangga dll.

Saya sendiri, tidak ingin memberikan pendapat tentang masalah mereka – mereka ini. Karena menurut saya, yang namanya hubungan – relationship, yang tau apa sebenar nya masalahnya ya cuman mereka yang ada di dalam hubungan itu, bukan saya, bukan orang tua mereka dan orang ketiga lainnya, sehingga sebaiknya semua masalah cukup diselesaikan antar mereka sendiri tanpa melibatkan orang lain. Bukan hanya sebatas diendapkan begitu saja.

Tapi kemudian menjadi keberatan saya ketika anak menjadi ‘sandera’  – dengan mengatas namakan kebahagian anak, mereka tetap berada dalam satu rumah tangga – tanpa ada keinginan untuk menyelesaikan permasalahan mereka. Mereka tetap bersama dengan hati dan pikiran yang terpisah satu sama lain, mereka tetap mencoba bersama tapi tidak ‘berbagi’. Bahkan kebahagian dan kenyamanan sudah tidak ada sama sekali di sana. Yang ada hanyalah suasana dingin penuh basa basi – yang penting tetap bersama.

Sehingga, maafkan saya yang selalu merasa mual ketika ada orang yang berkata kepada saya bahwa dia mempertahankan rumah tangga nya semata – mata demi anaknya. Demi kebahagian anak – anaknya.

Menurut saya …. itu kata – kata paling memuakkan yang pernah saya dengar.   Bagaimana memberikan sesuatu yang tidak kita punya kepada orang lain? Bagaimana memberikan kebahagian kalau diri kita tidak bahagia, bagaimana memberikan cinta kalau kita sendiri tidak tau apa itu cinta?

Sebagai anak yang mempunyai orang tua yang mempunyai masalah yang sama seperti teman 2x saya – yang  mengatakan kepada semua orang bahwa mereka tetap bersama demi kepentingan anak, saya bisa memastikan sebenarnya saya merasa seperti ‘SANDERA’  bagi ke dua orang tua saya.

Bahagiakah saya?  TIDAK – NO – NEIN

Walaupun mereka bersama, tidak berantem di depan saya, tapi saya bisa merasakan bahwa hati mereka tidak di sana. Saya bisa merasakan betapa hambarnya tawa ibu saya dan senyum ayah saya.  Dan kemudian yang paling menyakitkan saya adalah kata – kata yang tidak sengaja saya dengar, bahwa mereka bertahan demi saya dan saudara – saudara saya!!!! Seolah – olah kami menjadi beban mereka yang memaksa mereka harus tetap bersatu.  Menurut saya justru mereka adalah mahluk – mahluk egois, yang tidak berani tegas, yang lari dari masalah tapi kemudian mengatasnamakan anak sebagai alasan untuk menutupi kelemahan mereka.

Anak – anak mempunyai perasaan yang sensitif, itu sebabnya ada beberapa anak yang menjadi cengeng ketika ibunya atau bapaknya sakit atau sedang mempunyai masalah. Anak- anak bisa merasa keresahan orang tuanya, anak – anak bisa merasakan ketidak bahagian orang tuanya. Dan yang paling menyakitkan bagi anak adalah, apabila mereka yang menjadi alasan, terhalang nya kebahagian orang tuanya.

Kemudian apabila tidak tertahankan, tidak jarang kedua orang tua saling menjelekkan pasangan nya di depan – depan anak – anaknya. Sehingga si anak kemudian bingung, harus membela siapa – ayah atau ibu? Atau harus membenci siapa ayah atau ibu? Harus berbicara kepada siapa tentang masalah mereka – karena setiap kali mereka bertemu dengan ayah atau ibunya –  mereka di hadapkan kepada masalah ayah dan ibunya.

Bukan saya mensarankan perceraian, tidak sama sekali. Tapi saya berharap semestinya sebagai orang tua, harusnya menjadi penjaga buat anak – anak nya, menjadi tameng diurutan pertama untuk menjaga anaknya. Bukan sebaliknya, menjadikan alasan anak sebagai tempat pelarian dari ketidak mampuan mereka menyelesaikan masalah.

Yang kemudian semakin parah setelah mendapatkan alasan itu, keduanya  tidak berusaha untuk menyelesaikan masalahnya. Tidak ada keinginan untuk duduk bersama menyelesaikan masalah, sehingga semakin hari komunikasi yang terjalin juga bisa dikatakan tidak ada. Ini kemudian akan semakin diperparah ketika salah satunya mendapaatkan cinta yang lain – yang tanpa sadar tumbuh karena si pemberi cinta bisa memberikan perhatian yang tidak dia dapat dari pasangannya. Seriously, saya juga tidak dapat mengatakan ini benar atau salah (mungkin kalau 20 tahun lalu, dipertanyakan kepada saya, maka saya pasti akan bisa mengatakan ini 100% salah, tapi seiring dengan umur dan bertambahnya pengalaman, saya sadar bahwa ternyata tidaklah semudah itu).

Anak adalah anak, yang lahir semestinya dengan cinta dan memerlukan cinta dan perhatian dari ibu dan ayahnya. Bukan kemudian dijadikan ‘sandera’ , sebagai alasan penghindar masalah  atau sebagai sandera yang bisa dengan bebasnya dijadikan tong sampah mencaci maki pasangannya yang nota bene nya adalah ayah atau ibu kandung si anak.

Anak tidak butuh keluarga kamuflase – dimana ayah dan ibu lengkap ada di sana, tapi tidak hati nya, dan yang ditawarkan adalah bahagia semu. Anak butuh ayah dan ibu yang selalu ada untuk mereka,  walaupun tidak bersama – sama. Anak butuh melihat ayah dan ibu mereka bisa berdamai satu sama lain dan bisa duduk benar – benar nyaman berdampingan satu sama lain, walaupun cinta yang ada diantara keduanya hanyalah cinta antar sahabat, dan bukan dendam dan kemarahan satu sama lain.

Salam

 

 

About kharinadhewayani

I am just an ordinary woman who wants to share her mind and her dreams to the world.
This entry was posted in Indonesia ku, Uncategorized and tagged , , , . Bookmark the permalink.

Leave a comment