Instruksi Presiden Nomor 1470/1978 yang berisi bahwa pemerintah hanya mengakui lima agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Dan kemudian dengan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina maka agama resmi di Indonesia menjadi 6 agama ditambah dengan Khonghucu.
Agama yang lain? Ya enggak ngerti deh statusnya bagaimana. Yang pasti ke enam agama inilah kemudian harus dipilih sewaktu mengurus KTP – karena akan tercantum sebagai bagian identitas WNI. Lantas apakah kalau tidak ada satupun agama yang di anut di antara ke enam tersebut, berarti tidak bisa punya KTP?
Dan kemudian kalau tidak bisa punya KTP, identitas apa yang harus dipergunakan sebagai WNI? Bagaimana caranya mengurus segala surat – surat resmi tanpa KTP?
Dan dengan begitu apakah kalau beragama diluar 6 agama resmi tersebut berarti tidak boleh hidup sebagai warga negara Indonesia? Karena menurut Pasal 4 Keppres No. 56 Tahun 1996 : surat bukti kewarganegaraan Indonesia itu adalah KTP, Kartu Keluarga, Akta Kelahiran. Yang kesemuanya membutuhkan : agama untuk pengurusan identitas.
Kalau jawabannya …. YA BOLEH. Tapi, kalau boleh mengapa tidak bisa mendapatkan hak nya untuk mengurus identitas sebagai warga negara hanya karena agama yang dipercayai dan diyakini sebagai jalan hidupnya tidak termasuk dalam enam agama resmi yang diatur oleh negara.
Kalau jawabannya …. TIDAK BOLEH, jadi bertentangan dengan, UU No.62 tahun 1958 ttg kewarganegaraan, pasal 1 yang berisikan siapa saja yang berhak menjadi warga negara Indonesia.
Kalau kemudian negara tetap memaksakan kehendaknya agar penduduk hanya boleh memilih 6 agama resmi , bukankah berarti negara mencabut hak azasi masyarakatnya untuk memilih agama sesuai dengan kepercayaan nya?
Padahal pada Pasal 22 UU No.39 tahun 199 tentang Hak Azasi Manusia, jelas tertulis :
- Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
- Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Uhm …. semuanya jadi bertentangan deh 😦
Bagi saya sebenarnya fungsi negara tidak usah sampai mengatur agama apa saja yang harus diatur oleh negara, Atau ya dicabut saja Pasal 22 UU No. 39 tersebut, toh sebenarnya negara tidak membebaskan rakyatnya untuk memeluk agamanya masing masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu kok, dari pada suatu saat ada masyarakat yang menggugat pemerintah 🙂
Sehingga saya kemudian berpikir mungkin yang paling baik adalah penghapusan data agama yang dianut dalam KTP. Jadi cukup data seperti yang ada di Passport saja.
Kalaulah kemudian menjadi masalah dalam pencatatan pernikahan, karena di Indonesia pernikahan bisa dilakukan pencatatan nya di lembar resmi negara, apabila kedua pasangan menganut agama yang sama . Semestinya ya, ditanyakan saja kejujuran ke dua belah pihak beragama apa sewaktu mereka menikah. Toh, tanggung jawab moral nya ke Tuhan yang mereka percayai bukan negara yang harus bertanggung jawab. Terus apa bedanya dengan pernikahan beda agama yang dilakukan di luar negeri tapi bisa dicatatkan di lembar negara? Kenapa itu diperbolehkan? Kalau intinya negara tidak menginginkan penduduk yang berbeda agama bersatu dalam pernihakan dan tercatat resmi di lembar negera, mustinya ya berlaku adil dong, pernikahan seperti itu juga tidak bisa dicatatkan di lembar negara resmi RI.
Jadi terbukti memang semua tergantung pada uang. Toh kalau punya uang gampang, apa saja bisa dilegalkan, termasuk pernikahan. Tidak punya uang – ya tidak bisa menikah resmi. Punya uang, tinggal pergi ke luar negeri dan menikah di sana, kemudian dicatat di Indonesia. Semudah itu saja.
Jadi apa sebenarnya maksud negara dengan segala pembatasan agama yang bisa dianut, pencatuman data agama di KTP dan syarat pernikahan yang bisa di catatakan di lembar resmi negara?
Atau apakah memang Hak Azasi Manusia di Indonesia untuk beragama bahkan sebenarnya tidak ada sama sekali? Atau ini yang disebut bebas tapi terbatas? Atau memang kekuasaan negara kepada masyarakatnya bahkan sampai kepada hal – hal yang paling pribadi sekali?
Salam