Walaupun saya bukanlah fans dari RA Kartini, dan walaupun saya masih menginginkan Cut Nya Dien atau Marta Christina Tiahahu sebagai simbol emansipasi perempuan – tapi sepertinya minggu minggu di bulan April adalah saat yang tepat untuk saya sebagai perempuan untuk mencoba mengevaluasi tentang emansipasi perempuan di negara saya.
Ternyata dari hasil evaluasi kecil saya – dari lingkungan saya – dari sudut pandang saya – perjuangan untuk memperoleh hak -hak yang semestinya sebagai perempuan, ternyata masih harus berlanjut. Masih banyak kejadian – kejadian di negara ini yang ternyata merampas hak – hak kaum perempuan dan yang lebih parahnya menggunakan agama sebagai alasan melegalkannya.
Saya bukanlah termasuk kaum feminis extreem yang menginginkan perempuan harus bisa menggantikan laki -laki atau mengatakan bisa hidup tanpa kaum pria. Yang saya inginkan adalah sebatas keadilan, diberikan kesempatan yang sama , tidak selalu dipersalahkan apalagi dengan menggunakan alasan agama.
Saya tidak menginginkan adanya Kementerian Pemberdayaan (atau Memperdayakan ? :p) Perempuan, untuk apa? Dengan adanya kementerian ini secara tidak langsung memproklamirkan bahwa benar di Indonesia,perempuan masih dianggap sebagai mahluk yang lemah yang memerlukan kementerian khusus untuk mengurusnya. Bukannya cukup kementerian sosial atau pendidikan atau tenaga kerja? Toh saya belum pernah juga misalnya melihat Kementerian ini aktif dalam memperjuangkan masalah TKW di luar negeri, atau mengajak perempuan – perempuan muda untuk tidak menikah di usia yang relatif muda, atau membuka peluang besar kepada single mom yang tidak mempunyai modal untuk mendapatkan ketrampilan dan diberikan bantuan kredit untuk memulai usaha. Yang paling sering saya lihat sih aktif dalam kontes – kontes kecantikkan seperti Putri Indonesia, Miss Indonesia etc.
Saya merasa sampai saat ini, perempuan masih dianggap sebagai objek, dimana ketika bicara soal pemerkosaan, maka yang dibicarakan bukanlah soal persoalan perkosaan nya tapi pakaian apa yang dipakai perempuan yang diperkosa tersebut, ketika bicara tentang siswi yang hamil – yang dibicarakan adalah bahwa siswi tersebut tidak boleh ikut UN – karena siswi yg bermoral jeblok tidak pantas untuk lulus di sekolah yang mengajarkan moral – terus kenapa siswa yang menghamili boleh juga ikut UN – mustinya ikut bertanggungjawab dong, kan kehamilan tidak terjadi dari aktifitas perempuan saja. Kemudian bagaimana dengan siswi yang hamil karena korban perkosaan? Apakah mereka juga tidak boleh ikut UN? Apa salah mereka? Apakah moral mereka juga akan dianggap jeblok karena diperkosa?
Paling parah kemudian adanya ide untuk mengetes keperawanan siswi -siswi di sekolah, dengan maksud menjaga moral. Uhm …. bagaimana dengan siswa, kenapa mereka juga tidak dituntut melakukan hal yang sama? Haruskah yang menjaga moral itu jadi beban perempuan saja?
Atau kemudian beberapa peraturan daerah yang khusus menempatkan perempuan di posisi yang tidak menyenangkan – seperti tentang jam malam bagi perempuan. Uhm … bagaimana dengan perempuan yang harus bekerja sampai tengah malam seperti SPG, pelayan rumah makan. Dan kenapa tidak ada jam malam untuk pekerja pria. Saya pernah berbicara dengan salah seorang perempuan yang bekerja di SPBU yang merasa agak tidak adil, karena tidak bisa dapat shift malam, sehingga tidak pernah bisa mendapat tambahan upah seperti staf yang pria.
Atau tentang peraturan yang tidak memperbolehkan perempuan duduk mengangkang apabila dibonceng di sepeda motor. Alasannya? Entahlah. Mungkin suatu saat nanti gaya perempuan berjalan, bernafas, berbicara juga akan diatur oleh perda.
Yang lainnya seperti di milist yang saya ikutin banyak yang setuju agar perempuan tidak usah bekerja, sehingga banyak lowongan kerja yang akan terbuka untuk pria. Trus kalau tidak bekerja, bagaimana dengan single mom? Siapa yang membiayai hidupnya dan anak – anaknya? Bagaimana dengan saya misalnya – mosok dengan alasan tersebut saya harus mencari suami – bukan kah kemudian sebutan perempuan matrealistis akan dilekatkan kepada saya, karena mencari suami hanya untuk membiayai hidup saya 🙂
Atau juga saya masih melihat banyaknya keluarga terdekat yang memberi tekanan psikis kepada perempuan yang melaporkan kekerasan rumah tangga yang dilakukan oleh suaminya. Sehingga kemudian perempuan ini menarik kembali laporannya, dan ya seperti diduga, pastinya akan kembali menerima kekerasan dalam rumah tangganya.
Yang paling sering membuat saya merasa miris ketika perempuan yang bekerja harus juga meminta ijin untuk menggunakan uang yang dihasilkan nya, untuk membeli kebutuhan nya sebagai perempuan misalnya lipstik atau bekerja menjadi TKW di luar negeri dan gaji yang dikirim untuk keluarganya dipergunakan sang suami untuk membiayai istrinya yang lain, dan masyarakat yang melihat itu merasa wajar sang suami mempunyai istri yang lain – karena “namanya juga laki – laki, kan punya kebutuhan, daripada “jajan” sembarangan.
Juga tidak terhitung luar biasa banyaknya tekanan dari masyarakat yang akan diterima oleh ibu rumah tangga yang bekerja, karena mereka akan selalu dituntut untuk menjadi super woman yang bisa melakukan seluruhnya sendiri. Mulai dari mengurus anak, membersihkan rumah, memasak, mencari nafkah. Bahkan kemudian apabila suami tercinta membantu melakukan pekerjaan domestik – sang ibu pastilah akan dianggap sebagai perempuan semena – mena yang tidak menghormati suaminya.
Saya juga tidak setuju dengan pemaksaan menempatkan perempuan di posisi dewan hanya untuk memenuhi kuota. Mustinya diberikan kesempatan yang sama, bukan dikasihani dengan memaksa adanya perempuan di posisi itu walaupun tidak berkualitas hanya agar terlihat adanya kesetaraan gender. Dan kemudian perempuan yang ditempatkan di posisi dewan ini tidak diberikan kebebasan untuk menyuarakan pendapatnya dan pikirannya.
Saya tidak tau sampai kapan perjuangan ini akan berlanjut, saya tidak tau kapan perempuan – perempuan Indonesia akan bisa mendapatkan haknya yang tentu saja saya harapkan kemudian juga tidak disalah kaprahkan untuk menindas kaum pria 😀
Berharap saja tahun depan akan lebih baik, dan saya bisa walau sedikit membantu perjuangan kaum saya ini dengan apa yang saya miliki sekarang. Aamiin
Salam