Pembicaraan tentang subsidi memang tidak pernah ada habisnya. Mengingatkan saya akan statement yang paling ekstreem dari salah satu ahli ekonom Indonesia (aduh nama nya saya lupa) bahwa pemberian subsidi sebenarnya salah satu sarana pemerintah untuk mengajarkan masyarakat Indonesia untuk menjadi peminta – minta 😀
Saya juga menjadi ingat ketika bos tercinta saya di kantor dengan tenangnya mengatakan setuju akan pencabutan subsidi terhadap listrik. Sebagai pelanggan PLN (karena saya masihlah masyarakat Indonesia yang belum bisa secanggih beberapa masyarakat di pedesaan yang mempunyai listrik sendiri tanpa perlu bergantung dari PLN) tentulah pencabutan subsidi listrik juga berarti kenaikkan biaya bulanan saya di rumah 😀 Maklumlah … perempuan. LOL
Tapi ketika kemudian saya kembali disadarkan kalau sebenarnya subsidi listrik itu tidak jatuh pada rakyat miskin, karena sebagian besar dari mereka bahkan tidak mempunyai listrik di rumahnya, karena daerah atau tempat tinggal mereka tidak ada PLN. Sehingga apabila dikatakan subsidi listrik diberikan untuk membantu masyarakat yang miskin, pertanyaannya berapa persentase rakyat miskin yang menggunakan listrik sebenarnya, dan siapa yang sebenarnya menerima subsidi listrik ini? Terus kalau dikembalikan kepada saya, dimana hati nurani saya, apabila saya menerima subsidi listrik dari pemerintah, karena masih banyak penduduk Indonesia yang berpenghasilan dibawah saya dan mempunyai tanggungan lebih banyak dari saya. Jadi … untuk kasus pencabutan subsidi listrik ini, saya setuju dengan bos saya, agar pemerintah mencabut subsidi listrik kalau tujuan subsidi itu hanya untuk masyarakat berpenghasilan menengah ke atas.
Kemudian subsidi bbm. Untuk ini saya cukup setuju untuk dicabut, dengan alasan yang sama, berapa banyak rakyat miskin yang menikmati subsidi bbm ini sebenarnya? Rasanya agak terlalu, apabila masyarakat yang mempunyai mobil – mobil mewah ini bbm nya harus disubsidi oleh pemerintah. Berbeda apabila subsidi ini diberikan untuk transportasi umum yang membantu masyarakat menengah ke bawah (karena dengan kondisi transportasi umum yang masih sulit dikatakan layak, dan pola pikir masyarakat yang masih menganggap bahwa mobil adalah prestige, maka bisa dipastikan hampir tidak ada masyarakat berpenghasilan tinggi mau menaiki transportasi umum di luar taxi) .
Kemudian, apabila kita ke daerah – daerah terpencil, harga bbm yang ada disana terkadang jauuuuuuuh lebih mahal dari pada yang ada di perkotaan. Padahal masyarakat di daerah terpencil itu umumnya lebih rendah dari pada di kota. Jadi siapa sebenarnya yang disubsidi bbm oleh pemerintah? Rakyat miskinkah? Uhm….
Kemudian subsidi BOS (biaya operasional sekolah), dengan biaya sekolah yang masih amat sangat tinggi, saya meragukan apabila BOS ini banyak dinikmati oleh masyarakat miskin. Berapa anyak masyarakat miskin yang anaknya mampu bersekolah? Jangan – jangan kemudian BOS ini dinikmati oleh anak – anak yang orang tuanya berpenghasilan diatas rata – rata.
Dan kembali apabila kita ke daerah – daerah terpencil, berapa banyak sekolah yang ada disana? Kalaulah ada juga cuman sebatas Sekolah Dasar dengan guru dan prasarana yang minim. Jadi untuk siapakah BOS itu? Masyarakat miskin atau?
Dari catatan saya memang kemudian terlihat saya menjadi agak “parno” dengan apa yang disebut dengan subsidi. Karena dari kasus – kasus diatas, ternyata subsidi yang diberikan pemerintah itu bukanlah untuk masyarakat yang miskin. Salah sasaran itu mungkin judul yang tepat untuk beberapa subsidi pemerintah yang banyak menyerap apbn kita.
Walaupun kemudian pertanyaanya, apabila beberapa subsidi itu dicabut, apakah pemerintah juga bisa menjamin menggantikan dana subsidi itu untuk pos – pos lain yang bisa digunakan untuk menyediakan sarana dan prasarana bagi rakyat miskin? Sekolah gratis bagi anak pemulung sampah mungkin? Biaya perobatan gratis untuk masyarakat miskin yang memakai kartu miskin dari keluarahan mungkin? Setidaknya tidak lagi dipergunakkan untuk menambah gaji dan fasilitas anggota DPR/MPR
Salam