Tahun lalu, salah senior saya membicarakan satu buku yang judulnya “the power of receiving”. Saat itu saya sih mendengarnya agak kagum gitu dengan keberanian penulis membuat judul seperti itu, ditengah tengah buku buku yang membicarakan kan tentang betapa hebatnya kekuatan dari memberi. Enggak lebih dari itu.
Dan beberapa minggu lalu ternyata buku ini saya temukan di salah satu toko buku, dalam versi bahasa Indonesia. Karena memang belakangan ini saya sedang senang senangnya membaca buku (catatan: bukunya bukan buku kuliah), maka saya belilah buku ini. Penasaran ingin tau apa sih isi buku ini sebenarnya. Mengapa si penulis, berani menulis judul yang tidak lazim.
Tulisan saya ini bukan bermaksud untuk mempromosikan buku ini( tapi ya kalau ingin membelinya, ya bagus juga sih 😀 ), saya hanya menemukan apa yang ternyata banyak hilang dalam diri saya.
Dari kecil, orang tua saya, selalu mengajarkan agar saya berbagi dengan orang lain. Saya harus rela kalau baju kesayangan saya diberikan kepada orang lain yang menginginkannya, saya harus rela untuk memberikan apa yang saya punya kepada saudara saudara saya atau orang lain yang membutuhkannya. Intinya dilarang ‘pelit’, karena ‘pelit’ itu tidak baik, bisa masuk neraka. Begitulah kira kira.
Tapi mungkin yang lupa mereka ajarkan adalah bahwa saya berhak juga untuk menerima sesuatu dari orang lain. Menerima cinta, menerima ucapan terimakasih, menerima penghargaan atas apa yang saya lakukan, menerima apa yang saya harapkan akan saya dapatkan atas kerja keras saya.
Bagaimana saya bisa meminta sesuatu kepada Tuhan saya, kalau saya tidak merasa berhak menerimanya? Contohnya ketika saya bekerja keras melakukan sesuatu diluar pekerjaan saya, kemudian saya diberikan bonus atas kerja keras saya, kemudian bukannya saya berterimakasih atas rejeki dari kerja keras saya, saya malah merasa itu bukan hak saya, kemudian saya sok melakukan drama (hahahaha yup its me), menolak rejeki itu. Kemudian yang berniat memberikan bonus itu juga merasa tidak enak karena drama saya. Jadilah akhirnya beliau membatalkan bonus itu.
Jadilah next time, ketika saya sedang membutuhkan, tidak ada lagi yang berani menawarkan pekerjaan atau memberikan bonus karena takut saya tolak atau karena takut saya tersinggung Dan saya? Saya kemudian berkeluh kesah saya sudah baik tapi tidak ada yang perduli saya (dan parahnya…. saya mulai deh mengeluh … kok enggak ada yang perduli saya ya? hahhahahaahhahha)
Atau ketika saya minta jodoh misalnya, kemudian dipertemukan dengan seseorang yang menurut saya hebat, berani gagah dll yang menjadi pujaan banyak perempuan dan saya cintai. Kemudian karena keminderan saya, karena saya merasa tidak berhak menerimanya, saya pun bahkan tidak berani untuk berbicara kepadanya atau membalas perhatiannya. Padahal mungkin saja orang tersebut ingin mengenal saya lebih lanjut, tapi ya itu .. karena saya menarik diri, dia juga takut untuk masuk lebih lanjut dikehidupan saya. Tuhan saya pun akhirnya juga mempertimbangkan karena, saya bahkan tidak mau membuka hati saya untuk menerima orang yang sebenarnya menjadi jodoh saya. Lebih baik diberikan kepada orang lain, yang benar benar perduli kan?
Atau sering sekali saya menolak, ketika orang lain menawarkan bantuan kepada saya. Karena saya merasa saya bisa melakukan apapun tanpa bantuan itu. Saya tidak memikirkan perasaan orang yang menawarkan bantuan tersebut. Coba saja kalau saya jadi dia, mungkin saya akan tersinggung. Dan tidak mau lagi menawarkan bantuan lagi, karena takut ditolak. Akhirnya sama seperti sebelumnya, ketika saya benar benar membutuhkan bantuan, tidak ada yang mau lagi menawarkan bantuan. Karena mereka mereka ini sudah males saya tolak. Â Dan saya kemudian merasa ….. tidak ada yang perduli, tidak ada yang mau membantu saya. Padahal? Saya lah yang menyebabkannya. Hahahhahahaa
Saya jadi mikir tentang hidup, yang semestinya kudu seimbang, karena itulah yang Tuhan berikan, disitulah indahnya. Kalau salah satu lebih dari yang lain – ya bakal tidak seimbang, hidupnya jadi tidak seimbang. Ada Yin ada yang , ada sedih ada senang, ada hitam ada putih. ada gelap ada terang, ada pagi ada malam, ada perempuan ada laki laki. Jadi ada memberi juga ada menerima. Kalau semua di dunia ini memberi, siapa yang akan menerima? Kalau di dunia ini semua menerima siapa yang akan menerima?
Enggak bagus juga kalau kita menerima terus dan enggak bagus juga kita menerima terus. Semuanya seharusnya seimbang. Tuhan sudah menunjukkan itu, Â berilah Beliau ucapan terimakasih atas setiap rahmat Nya dan mintalah kepada Beliau. Berilah kepercayaan kepada Nya untuk memberikan yang terbaik kepada kita, dan bersiaplah menerima anugrah Nya.
Menerima bukan hanya yang besar tapi termasuk yang kecil. Udara yang segar, senyuman dari orang yang tidak dikenal, ucapan terima kasih dari supir angkot, ucapan salam dari OB dikantor dll. Jadi ingat ada kata kata yang bagus banget …. Tuhan akan mempercayakan hal yang besar, apabila kita mau setia pada hal hal yang kecil. Bersyukur itu sebenarnya adalah salah satu dari contoh menerima. Bersyukur atas apa yang akan diberikan Tuhan.
So, kekuatan untuk menerima seharusnya sebanding dengan kekuatan kita untuk memberi. (dan saya sedang berusaha kuat untuk menyeimbangkan keduanya)
Salam